Jam Buka :

Senin - Jumat 07.30-16.00

Telepon :

(021) 4892802

Kajian Ozon dan Polusi Udara

Atmosfer sebagai lapisan udara yang menyelimuti bumi memiliki potensi memberikan pupuk secara alami ke lahan dan dalam tanah. Potensi pupuk dari atmosfer ini berasal dari petir dan curah hujan. Tidak semua petir secara langsung menghantarkan gas N2 (nitrogen) ke permukaan tanah. Hanya petir jenis dari awan ke tanah (cloud to ground/CG) yang dapat menghantarkan N2 ke permukaan tanah. Petir jenis lain adalah cloud to cloud (CC). Petirdi iklim tropis menghantarkan sekitar 10 kg nitrogen/ha/tahun ke permukaan tanah.

Pada setiap kejadian sambaran petir ke permukaan juga menghantarkan gas nitrogen (N2) ke dalam tanah. Unsur nitrogen adalah unsur hara makro esensial yang harus mutlak ada dan diserap oleh tanaman dalam jumlah yang besar. Tanaman menyerap unsur nitrogen dalam bentuk ion NH4+ (ammonium) atau NO3 (nitrat). Semakin tinggi frekuensi kejadian petir suatu daerah, maka semakin banyak nitrat terbentuk. Hal ini berarti seharusnya ketergantungan akan pupuk kimiawi dikurangi mengingat harga pupuk yang tidak stabil, ketersediaan pupuk terbatas dan penggunaan intensif dari pupuk urea yang mengandung nitrogen dapat menghasilkan dampak negatif berupa emisi gas rumah kaca N2O (dinitrogen oksida) ke lingkungan.

Nitrogen di atmosfer adalah sumber utama (sumber primer) semua jenis nitrogen. Terbawanya nitrogen bersama kejadian petir disebabkan nitrogen menempati porsi terbesar dalam tatanan komposisi kimia atmosfer alami yaitu sebanyak 78%. Penggunaan pupuk kimia secara intensif pada sektor pertanian dan kegiatan antropogenik yang lain (transportasi dan industri) turut juga berkontribusi terhadap besaran komposisi nitrogen di atmosfer.

Unsur nitrogen sampai ke permukaan tanah dan dalam tanah melalui dua cara. Pertama petir secara langsung menghantarkan gas nitrogen (N2) ke permukaan tanah dan oleh bakteri dalam tanah diikat (difiksasi). Fiksasi adalah pengikatan gas nitrogen di udara oleh mikroorganisme. Fiksasi terbagi menjadi dua cara yaitu fiksasi langsung (non simbiosis) dan fiksasi tidak langsung (simbiosis). Fiksasi non simbiosis adalah pengikatan langsung gas N2 dari udara oleh mikroorganisme seperti bakteri Azotobacter crochocum, Clostridium pasteurianum, Nostoc commune, Anabaena cicadae, dan Anabaena azollae. Fiksasi gas N2 secara simbiosis antara bakteri yang hidup pada bintil akar tanaman (nodule) kacang-kacangan (Leguminoceae). Fiksasi simbiosis menghasilkan 500 gram nitrogen/ha/tahun.

Ke dua , gas N2 dan O2 dipecah oleh kekuatan petir sehingga menjadi ikatan nitrogen oksida yang dapat terbawa bersama sambaran petir atau terlarut dalam air hujan. Ikatan rangkap tiga N2 dan ikatan rangkap dua O2 yang terlalu kuat hanya dapat dipecahkan oleh sambaran petir yang memiliki suhu tinggi (sekitar 25000 0C) sehingga memungkinkan terbentuknya nitrogen oksida. Posisi geografis Indonesia yang terletak pada iklim tropis menyebabkan kejadian frekuensi petir di Indonesia tergolong tertinggi di dunia. Kerapatan petir di Indonesia juga sangat besar yaitu 12/km 2/tahun yang berarti setiap luas area 1 km 2 berpotensi menerima sambaran petir sebanyak 12 kali setiap tahunnya. Frekuensi kejadian petir yang sangat tinggi ditambah curah hujan yang tinggi, menjadikan sebagian besar tanah Indonesia menjadi subur. Berdasarkan data iklim diketahui bahwa dapat terjadi minimal 45.000 kali petir di dunia setiap hari dan umumnya terjadi di equator seperti Indonesia. Dari data yang dikeluarkan oleh Global Lightening Technology (lembaga keteknikan yang mengkaji cahaya milik Australia) telah membagi dan mengklasifikasikan petir menjadi 10 tingkatan intensitas petir sebagai berikut :

1.
Wilayah dengan intensitas petir 0 disebut daerah bebas petir meliputi daerah bagian utara bekas Negara Uni Soviet memanjang ke bagian Timur sampai kepulauan Greenland.
2.
Wilayah dengan intensitas petir 2-4 hari dalam setahun terjadi petir, meliputi daerah sebelah Selatan bekas Negara Uni Soviet dan Eropa Timur.
3.
Wilayah dengan intensitas petir 4-10 hari dalam setahun terjadi petir.
4.
Wilayah dengan intensitas petir antara 10-20 hari dalam setahun terjadi petir.
5.
Wilayah dengan intensitas petir antara 20-40 hari dalam setahun terjadi petir, meliputi pulau Jawa.
6.
Wilayah dengan intensitas petir 40-60 hari dalam setahun terjadi petir, meliputi pulau Sulawesi dan irian Jaya.
7.
Wilayah dengan intensitas kejadian petir 60-80 hari dalam setahun terjadi petir.
8.
Wilayah dengan intensitas kejadian petir 80-100 hari dalam setahun terjadi petir, meliputi daerah Barat pulau Sumatera.
9.
Wilayah dengan intensitas petir antara 100-200 hari dalam setahun terjadi petir.
10.
Wilayah dengan intensitas petir lebih dari 200 hari dalam setahun terjadi petir.

 

Data frekuensi kejadian petir di atas menunjukan bahwa Indonesia umumnya merupakan negara dengan intensitas kejadian petir yang sangat tinggi di dunia. Hal ini disebabkan Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa sepanjang tahun mendapatkan lama penyinaran radiasi matahari yang tetap 12 jam setiap hari. Radiasi surya dengan intensitas tinggi yang tetap sepanjang tahun membuat proses konveksi (naiknya massa udara karena pemanasan) terus berlangsung dan terbentuk banyak awan cumulonimbus (cb). Luas Indonesia yang dua pertiganya adalah lautan juga turut sebagai mesin panas cuaca dan iklim yang banyak menyimpan energi laten evaporasi sehingga banyak cuaca ekstrem terjadi di Indonesia.

  • Mengungkap Asap Misterius Di Wuhan

Kantor berita Perancis, AFP melaporkan bahwa kota Wuhan di Cina tertutup asap misterius (http://id.berita.yahoo.com/kota-wuhan-cina–terselubung-asap-misterius.html). Sebenarnya pemandangan seperti itu tidaklah asing di negeri dengan sebutan “Tirai Bambu” itu. Banyak kota di Cina juga telah terserang asap. Kasus serupa terjadi juga di kota Beijing, Ningbo, dan Linfen (seperti ditunjukan pada Gambar di bawah ini).

Gambar.1 Asap misterius di Cina

Dalam membicarakan tentang asap atau sering disebut dengan istilah kabut. Terdapat beberapa istilah yang digunakan terkait dengan jenis, sumber dan sifatnya, yaitu sebagai berikut:

1.
Fog (kabut) adalah butiran air atau kristal es yang tersuspensi dalam udara dekat dengan permukaan tanah. Fog ini berbentuk mirip seperti awan tipis yang letaknya di dekat permukaan tanah. Fog banyak terjadi di dataran tinggi.
2.
Smoke (asap) merupakan salah satu hasil dari proses pembakaran. Smoke dihasilkan dari pembakaran biomasa (kebakaran hutan dan lahan, pembakaran sampah pertanian) dan pembakaran bahan bakar fosil. Smoke tersusun dari senyawa-senyawa dalam bentuk padat (partikulat), cair (uap air), dan gas (CO, CO2, NOx). Kebakaran hutan sering menimbulkan smoke dengan tingkat yang membahayakan transportasi darat dan mengganggu lalu lintas penerbangan karena mengurangi daya visibilitas pengguna jalan dan penerbang.
3.
Smog berasal dari dua kata yaitu smoke dan fog sehingga disingkat menjadi bentuk akronim smog. Selanjutnya smog lebih disebut dengan photochemical smog (smog fotokimia atau kabut asap fotokimia). Smog fotokimia merupakan kabut asap yang dapat terbentuk dari beberapa senyawa kimia berikut: aldehide (R-CHO), nitrogen oksida (NO dan NO2), ozon troposfer (O3), peroxyacyl nitrates (PAN), dan volatile organic compound (VOC). Senyawa-senyawa tersebut bersifat sangat reaktif dan mudah teroksidasi di troposfer. Smog fotokimia terjadi ketika senyawa-senyawa tersebut berinteraksi dengan radiasi ultraviolet dari matahari. Smog banyak terjadi di kota-kota besar. Hal ini dikarenakan senyawa-senyawa pembentuk smog fotokimia tersebut banyak dihasilkan dari kegiatan industri dan transportasi.
4.
Vog merupakan kependekan dari volcano smog, yaitu kabut yang terbentuk dari beberapa zat kimia yang dihasilkan dari aktifitas gunung api. Senyawa utama pembentuk vog adalah aerosol yang terbentuk dari SO2 (sulfur dioksida) dan uap air. Vog terjadi di sekitar daerah gunung api yang memiliki tingkat keaktifan tinggi.

 

Dapat diduga bahwa kabut di Wuhan, Cina, yang dilaporkan misterius oleh AFP adalah fenomena smog fotokimia biasa. Beberapa kota besar di Cina memang terkenal dengan tingkat polusi udara yang tinggi, bahkan dampak dari polusi udara juga sudah ada yang menerpa warganya. Barangkali untuk kasus kejadian kabut misterius yang baru saja terjadi ini dianggap misterius karena fenomena itu baru muncul pada bulan Juni ini.

Adalah hal yang wajar jika fenomena itu tidak muncul di Wuhan sebelum bulan Juni. Kota Wuhan terletak pada lintang geografis 30,50 LU, di luar garis balik atau di luar garis edar matahari. Garis balik Lintang Utara dan garis balik Lintang Selatan berturut-turut terdapat pada 23,50 LU dan 23,50 LS. Kota Wuhan mendapat intensitas radiasi matahari tinggi ketika matahari beredar mendekati garis balik utara (23,45 0 LU) yang terjadi sekitar bulan Juni. Oleh karena itu pada bulan Juni kota Wuhan mendapat paparan radiasi matahari, termasuk radiasi ultraviolet, yang tinggi. Radiasi ultraviolet yang tinggi ini berinteraksi dengan polutan udara di kota Wuhan sehingga muncul fenomena smog fotokimia. Jika tidak ada penanganan terhadap masalah polusi udara di Wuhan, maka setiap sekitar bulan Juni akan muncul fenomena smog fotokimia ini lagi.

Smog fotokimia bukan hanya fenomena di Cina saja. Banyak kota besar di dunia telah dilanda smog fotokimia ini seperti Moscow, Los Angeles, New York, Sydney, Mesir, Mexico dan Vancouver. Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung, juga sudah menunjukkan fenomena itu meskipun tidak separah apa yang telah terjadi di Cina.

Meskipun fenomena smog fotokimia sudah lazim terjadi di kota-kota besar bukan berarti kita tidak mewaspadai. Smog fotokimia menunjukkan tingginya tingkat pencemaran udara, seperti NOx, O3, VOC, R-CHO, dan PAN. Adanya fenomena smog fotokimia, menjadi peringatan bagi pihak terkait yang wajib mengatasi masalah polusi udara untuk segera mengambil tindakan antisipasi, dengan cara mengurangi sumber emisi penyebab fenomena tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar kejadian seperti di Cina tidak terulang di kota lain. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa program pengelolaan kualitas udara harus didukung oleh semua pihak terkait dengan sumber emisi.

Didukung Oleh :